Struggling Memahami predicament sekitar

Memahami suatu persoalan, pemikir cenderung melihat sekitar atau ke luar sebelum melihat ke dalam. Identical dengan cermin kaca spion kendaraan. Extremely, cermin yang digunakannya hanya dapat melihat sekitar, yang lain, orang lain, selain diri sendiri.

Idealisme menjadi musuh. Ketidakadilan menjadi alasan yang fundamental. Pertemuan (face to face) menjadi hindrance untuk eye contact. Kebutuhan akan escaping semakin urgent. Absurdity terus menggerogot. Relasi dirong-rong ole kebobrokan narrow idealisme. The “I” and the “other” berada pada suatu opposition. Kompas “I” dan “other” tidak lagi menuju pada mutual relationship.

Mencerminkan diri bukan lagi hal yang semestinya dibutuhkan ole setiap individu. Mentality of seeing others role over one’s mindset. Kemampuan untuk melihat diri direduksi total oleh mental hegemony.

Peristiwa complaining bisa terjadi di mana saja, kapan saja dengan siapa saja. Itu bisa terjadi dengan diri sendiri, dengan keluarga, dengan teman, dengan masyarakat sekitar, dengan rekan kerja, dengan atasan, atau dengan bawahan. Penyebab terjadinyapun multifarious reasons: ketidakadilan, kegagalan, ketidaksejajaran, egoism, selfishness, dan bahkan karena kerakusan (greedy).

Ideology-ideology inilah yang selalu menuntut individu tertentu untuk mengais income yang lebih. Sorotan ke sekitar pasti semakin tajam. Melihat dan menghitung punya dia berapa punya mereka berapa dan punya saya berapa. Semua dikalkulasi. Porsi pun dihitung, saya begini, dia begitu kami begini. Mengapa dia begitu, mengapa dia begini, dan mengapa kami begini. Kemudian muncul suatu kalimat masa sama?, masa harus rata? Masa saya punya hanya begini? mengapa dia punya sejumlah itu? Masa kami punya sejumlah ini?

Secara tidak langsung niat atau desire dari speaker yang mengucapkan semuanya itu mengacu kepada kapitalisme yang radikal. Yang lain bekerja saya yang mendapatkan hasil. Pekerja tidak mendapat upah setimpal dengan keringatnya. Mental saya bos, saya ketua, saya pemimpin, saya bawahan, saya hamba, saya servant, dan saya saya yang lainnya terus membajak otak. Mengikis pikiran hanya untuk menghasilkan suatu kata “complaining”.

Sedihnya ketika cermin tidak pernah diarahkan ke wajah sendiri. Tidak pernah melihat diri sendiri. Menjawab pertanyaan “Who am I?” menjadi unknown. Mysterious. Terselubung oleh personal desire yang selalu dan selalu ingin menggerogoti dan merampas hak “The others”.

Wajah simulacra terus menguasai diri. Hyper reality semakin mencuat ke surface public. Relasi menjadi product dari simulation. Gambaran thy self menjadi bukan thy yang semestinya adalah thy. Thy yang dalam pergumulan setiap hari dalam rutinitas adalah fake, simulacra, Disney land terus mengintertain others dalam suatu locus.

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close